Katekese tentang Kebajikan Pokok




Kebijaksanaan menunjukkan kepada kita apa yang paling berkenan bagi Allah, dan yang paling berguna bagi keselamatan jiwa kita. Patutlah kita senantiasa memilih yang paling sempurna. Dua perbuatan baik ada di depan kita untuk dilakukan, pertama untuk orang yang kita kasihi, dan yang lain untuk orang yang telah menyakiti kita; baik, hendaknyalah kita memberikan prioritas kepada yang terakhir. Tak ada ganjaran dalam berbuat baik apabila naluri membuat kita melakukannya. Seorang perempuan meminta St Athanasius mencarikan baginya seorang janda dari kalangan orang miskin untuk dirawat dan tinggal bersamanya. Selang beberapa waktu, ketika berjumpa dengan sang Uskup, perempuan itu mencelanya karena telah memperlakukannya dengan buruk, sebab janda yang dikirimkannya sungguh seorang yang amat baik dan karenanya tidak mendatangkan ganjaran surga; ia memohon Uskup untuk menggantinya dengan yang lain. St Athanasius memberinya yang terburuk dari yang dapat ia temukan; seorang pemarah dan penggerutu, yang tidak pernah puas akan apa yang telah dilakukan untuknya. Demikianlah hendaknya kita berlaku, sebab tidak ada ganjaran besar dalam berbuat kebajikan bagi mereka yang pantas mendapatkannya, yang bersyukur dan berterima kasih kepada kita.
Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa mereka tidak pernah diperlakukan cukup baik; seolah mereka berhak atas semuanya. Mereka tidak pernah puas atas apa yang telah dilakukan bagi mereka: mereka membalas semua orang dengan sikap tak tahu terima kasih…. Baik! kepada merekalah hendaknya kita berikan prioritas untuk berbuat baik. Kita patut bijaksana dalam segala perbuatan kita dan tidak mencari kesenangan diri, melainkan apa yang paling berkenan bagi Allah yang baik.
Andai ada padamu uang yang hendak kau persembahkan dalam Misa; tetapi engkau melihat sebuah keluarga miskin yang malang, yang amat membutuhkan roti: adalah terlebih baik engkau memberikan uangmu kepada orang-orang malang itu, sebab Misa Kudus masih tetap akan dipersembahkan; imam tidak akan tidak mempersembahkan Misa Kudus; sementara orang-orang miskin ini mungkin mati kelaparan…. Mungkin engkau hendak berdoa kepada Allah yang baik, melewatkan sepanjang harimu di gereja; tetapi kemudian engkau pikir akan sangat berguna jika engkau pergi membantu orang-orang malang yang amat membutuhkan bantuan; hal ini akan jauh lebih berkenan bagi Tuhan daripada engkau melewatkan sepanjang harimu di depan tabernakel.
Penguasaan diri adalah kebajikan pokok lainnya: kita dapat menguasai diri dalam penggunaan imaginasi kita, dengan tidak membiarkannya mengembara ke mana-mana seperti yang dikehendakinya; kita dapat menguasai mata kita, menguasai mulut kita - sebagian orang senantiasa bermulut manis; kita dapat menguasai telinga kita, tidak membiarkannya mendengarkan lagu-lagu dan pembicaraan-pembicaraan yang sia-sia; menguasai penciuman kita - sebagian orang membubuhkan minyak wangi sedemikian rupa hingga membuat pusing orang-orang sekitarnya; menguasai tangan - sebagian orang selalu campur tangan dalam hal-hal remeh sementara cuci tangan dalam apa yang menjadi tugas tanggung jawabnya…. Singkat kata, kita dapat mempraktekkan penguasaan diri dengan seluruh tubuh kita, mesin kita yang malang ini, dengan tidak membiarkannya berlari bagai seekor kuda tanpa kekang, melainkan senantiasa mengontrol dan mengendalikannya. Sebagian orang tenggelam di sana, di atas tempat tidur; mereka senang tidak tidur, agar dapat merasakan betapa nyaman hidup mereka. Para kudus tidaklah demikian. Aku tidak tahu bagaimana kita dapat pernah sampai ke tempat mereka berada…. Baik! jika kita diselamatkan, kita akan harus tinggal begitu lama dalam api penyucian, sementara para kudus akan terbang langsung menuju surga untuk berjumpa dengan Allah yang baik.
Seorang kudus besar, St Karolus Borromeus, mempunyai sebuah tempat tidur indah seorang kardinal dalam kamarnya. Tempat tidur ini dapat dilihat semua orang; tetapi, di samping itu, ia mempunyai satu tempat tidur lain yang tak dapat dilihat siapapun, terbuat dari kayu kasar; dan justru itulah yang ia pergunakan. Ia tidak pernah menghangatkan diri; ketika orang datang menemuinya, mereka mengatakan bahwa ia menempatkan diri sedemikian rupa agar tidak menikmati hangatnya api. Seperti itulah para kudus. Mereka hidup bagi surga, dan bukan bagi dunia; mereka semuanya surgawi; sementara kita semuanya duniawi. Oh, betapa aku menyukai matiraga-matiraga kecil yang tak terlihat siapapun, seperti bangun seperempat jam lebih awal, bangun sejenak tengah malam untuk berdoa! tetapi sebagian orang tidak memikirkan yang lain selain dari tidur. Suatu waktu adalah seorang rahib yang membangun bagi dirinya sendiri suatu istana kerajaan dalam sebuah lubang batang pohon oak; ia menempatkan duri-duri di dalamnya, dan ia mengikatkan tiga batu di kepala tempat tidurnya, sehingga apabila ia bangun atau berbalik, ia merasakan hantaman batu-batu atau tusukan duri-duri. Sementara kita, kita tidak memikirkan yang lain selain dari mendapatkan tempat tidur yang enak agar kita dapat tidur dengan nyaman.
Kita dapat menghindarkan diri dari rasa hangat; apabila kita duduk kurang nyaman, tidak perlulah kita berusaha mencari tempat yang lebih enak; apabila kita berjalan-jalan di kebun, kita dapat menghindarkan diri dari menyantap buah-buahan sedap yang kita ingini; dalam mempersiapkan makanan, kita tidak perlu melahap potongan-potongan kecil yang biasa menawarkan diri; kita dapat menjauhkan diri dari melihat sesuatu yang indah, yang menyenangkan mata, teristimewa di jalanan-jalanan kota besar. Ada seorang laki-laki yang terkadang datang ke sini. Ia mengenakan kacamata agar ia tak dapat melihat suatu pun.... Tetapi beberapa kepala selalu tanggap, beberapa pasang mata selalu menatap.... Apabila kita menyusuri jalanan, marilah kita melekatkan mata kita pada Tuhan kita yang memanggul Salib-Nya di hadapan kita; pada Santa Perawan Maria yang memandang kita; pada malaikat pelindung kita yang ada di samping kita. Betapa indah kehidupan batin ini! Kehidupan batin mempersatukan kita dengan Allah yang baik.... Sebab itu, apabila iblis melihat suatu jiwa berusaha mendapatkannya, iblis berupaya mengalihkannya dengan mengisi imaginasinya dengan ribuan khayalan. Seorang Kristiani yang baik tidak mendengar bujuk rayu itu; ia senantiasa maju di jalan kesempurnaan, bagai seekor ikan membenamkan diri ke kedalaman lautan.... Sementara kita, betapa malang! kita menyeret diri bagai seekor lintah dalam lumpur.
Ada dua orang kudus di padang gurun yang menyematkan duri-duri di sekujur pakaian mereka; dan kita tidak mencari yang lain selain dari kenyamanan! Meski demikian, kita merindukan surga; tetapi dengan segala kemewahan kita, tanpa satu pun penyangkalan diri. Tidak demikianlah laku para kudus. Mereka mencari segala cara untuk menyangkal diri, dan di tengah segala penderitaan, mereka mencicipi kemanisan yang tiada batas. Betapa bahagianya mereka yang mengasihi Allah yang baik! Mereka tak kehilangan satu kesempatan pun untuk berbuat kebajikan; orang-orang kikir menggunakan segala cara yang dapat mereka lakukan demi menghimpun harta mereka; mereka yang mengasihi Allah melakukan hal yang sama demi harta surgawi - mereka senantiasa menimbun. Kita akan terkejut pada Hari Penghakiman melihat jiwa-jiwa yang begitu kaya!